Open House Istana Presiden: Prabowo Siap Memaafkan, Oposisi Lebih Suka Simpan Dendam

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

SELAMAT Idulfitri 2025 bagi seluruh umat Muslim diIndonesia. Saatnya menebar maaf, mengikis dendam, dan memulai lembaran barudengan hati yang bersih. Semoga tidak ada lagi ruang permusuhan. Hanya ada kekompakandan gotong royong membangun bangsa demi kesejahteraan rakyat.

Momentum Idulfitri ini seharusnya menjadi titik balik untukmengonsolidasi bangsa yang masih terbelah oleh riak-riak politik pasca-Pemilu2024. Nyatanya, luka itu belum kering. Sentimen anti-Prabowo-Gibran masihmembara di jagat maya. Hampir setiap hari, cacian, fitnah, dan olok-olok terusmengalir deras.

Politik memang tak pernah linier dengan nilai-nilai agama.Satu keyakinan, belum tentu satu pandangan. Tapi apakah itu pembenaran untukterus memelihara kebencian? Di tengah panasnya suhu politik, kita masihmenyaksikan secercah harapan: upaya menjaga silaturahmi.

Setidaknya itulah yang ditunjukkan Presiden Prabowo. Orangnomor satu di Indonesia itu membuka pintu Istana Kepresidenan lebar-lebar,mengundang siapa pun untuk bersalaman, berpelukan, saling memaafkan.

Namun, di balik kemeriahan acara yang dihadiri masyarakatbiasa sampai elit politik itu, ada satu pertanyaan mengganjal: di manalawan-lawannya. Kenapa tidak ada yang nongol di acara yang sangat berharga danmomentumnya sangat bagus itu?

Tak satu pun tokoh oposisi, semisal Ganjar Pranowo, MegawatiSoekarnoputri, Anies Baswedan, atau yang lain, datang ke acara open housePresiden. Mereka tidak peduli. Padahal, bayangkan betapa dahsyatnya pesanpersatuan yang bisa terkirim andai mereka datang.

Bayangkan jika Prabowo dan Anies berjabat erat, atau Gibranbersalaman dengan Ganjar. Publik pasti akan tersentuh: inilah bangsa yangmatang, yang bisa memisahkan persaingan politik dari semangat kebersamaan.

Tapi ternyata, harapan semacam itu masih terlalu muluk untukIndonesia. Elit kita lebih memilih memelihara luka daripada merajutperdamaian. Perseteruan politik tak berhenti di bilik suara, ia terusmeracuni relasi sosial, bahkan di hari raya sekalipun. Tak ada sikap legowoyang menonjol, tak ada upaya tulus untuk merajut kembali yang terkoyak.

Kita boleh bertanya: apakah mereka benar-benar pedulipada persatuan, atau hanya menjadikannya retorika kosong?

Kita patut bersyukur, rakyat Indonesia masih jauh lebihbijak daripada elitnya. Di tengah panasnya pertarungan elite, masyarakat tetapmenjaga Bhinneka Tunggal Ika. Mereka tak mudah dipecah-belah, tetap komitmenpada NKRI. Tapi, seberapa lama ketahanan ini bisa bertahan jika para pemimpinterus memupuk perpecahan?

Indonesia terlalu besar untuk dikelola oleh elit yang salingsikut. Dengan 17 ribu pulau, 281,6 juta penduduk, ribuan suku, dan bahasa,mustahil negeri ini maju jika yang ada hanya pertikaian. 

Kita harus curiga: jangan-jangan ada yang tak inginpersatuan karena punya agenda lain—mempertahankan kekuasaan, menguasai sumberdaya alam, atau sekadar memuaskan ego kelompok.

Jika benar ada tokoh seperti itu, maka mereka adalahpengkhianat sejati. Bukan pengkhianat karena berbeda pandangan, tapipengkhianat karena menjadikan rakyat sebagai korban dari nafsu kekuasaanmereka.

Mari berprasangka baik: semoga ini hanya kekhawatiran yangberlebihan. Semoga Idulfitri kali ini bisa menjadi awal rekonsiliasi sejati.Indonesia layak menjadi contoh dunia—negara yang besar bukan karenakekayaannya, tapi karena keluhuran budi pekerti para pemimpin dan rakyatnya.

Kita ingin Indonesia menjadi rahmatan lil ‘alamin,bukan sekadar slogan. Tapi itu mustahil terwujud jika elit lebih memilihbermusuhan daripada berjabat tangan.

Selamat Idulfitri. Mohon maaf lahir dan batin. (*)

 

 

Type above and press Enter to search.