Teror kepada Jurnalis Tempo: Ancaman Serius bagi Demokrasi dan Kebebasan Pers

TEROR kepala babi dan bangkai tikus tanpa kepala yang dialamatkan kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana (Cica), bukan sekadar tindakan kriminal biasa. Ini adalah serangan terhadap kebebasan pers, pilar keempat demokrasi, yang harus ditanggapi dengan serius oleh semua pihak, terutama negara.
Polisi tidak boleh berlama-lama dalam menangkap pelaku.Apapun motifnya, tindakan teror terhadap jurnalis adalah bentuk intimidasi yang tidak bisa ditoleransi. Sudah ada mekanisme hukum yang jelas dalam Undang-Undang Pers jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh produk jurnalistik.
Namun, teror ini menunjukkan bahwa ada pihak-pihak yang tidak menghargai aturan main tersebut dan memilih jalan kekerasan untuk menyampaikan pesan.
Ini bukan hanya ancaman bagi Cica atau Tempo, tetapi bagi seluruh insan pers di Indonesia. Jika kasus ini dibiarkan tak terungkap, ia akan menjadi preseden buruk yang membuka pintu bagi teror serupa terhadap jurnalis di mana pun.
Teror ini terjadi dalam dua tahap. Pertama, pada Rabu, 19Maret 2025, Cica menerima paket berisi kepala babi tanpa telinga yang dikemas rapi dalam kotak kardus dilapisi styrofoam.
Kedua, pada Sabtu, 22 Maret 2025, sekitar pukul 02.11 WIB,teror berlanjut dengan kedatangan bangkai tikus tanpa kepala yang dibungkus kardus bermotif bunga mawar merah. Simbol-simbol ini bukanlah kebetulan. Mereka adalah pesan yang jelas: ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan independensi pers.
Seluruh elemen pers harus melihat ini sebagai serangan terhadap profesi mereka. Kita tidak bisa diam melihat praktik barbar yang mengancam kehidupan jurnalis, yang tugasnya adalah mengawal demokrasi.
Negara harus hadir secara nyata, bukan sekadar memberikan perintah formal. Kapolri telah memerintahkan Bareskrim untuk mengusut kasus ini, tetapi itu tidak cukup. Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan langsung,memimpin upaya penangkapan pelaku, dan mengerahkan segala sumber daya negara yang ada.
Ini bukan hanya tentang menegakkan hukum, tetapi jugatentang memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Teror ini terjadi di tengah momentum pengesahan Undang-Undang TNI, yang menuai kritik dari berbagai kalangan. Jangan sampai pembiaran terhadap teror ini semakin merusak citra pemerintah di mata publik.
Pers, dalam menjalankan tugasnya, hanya menyampaikan fakta.Jika ada yang tidak sesuai, mekanisme hukum seperti hak jawab dan hak koreksisudah tersedia. Tidak ada alasan untuk menggunakan cara-cara teror untuk"meluruskan" fakta.
Teror terhadap jurnalis Tempo ini adalah tamparan keras bagidemokrasi Indonesia. Demokrasi yang seharusnya semakin matang justru dinodaioleh tindakan yang mengingatkan kita pada suasana represif era Orde Baru.
Peristiwa teror kepada jurnalis Tempo Ini adalah pengingat bahwa kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud, dan ancaman terhadapnya masih nyata. Publik harus semakin waspada. Negara ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Teror terhadap insan pers adalah penanda bahwa demokrasi kita masih rapuh. Kita harus terus memantau perkembangan kasus ini.
Apakah polisi mampu menangkap pelakunya? Ataukah ini akan menjadi kasus lain yang hilang ditelan waktu, sementara kebebasan pers semakin terancam? Jawabannya akan menentukan masa depan demokrasi kita. (*)