Sritex: Kisah Utang, Kisah Ambisi?

Unveiling the Crisis of Plastic Pollution: Analyzing Its Profound Impact on the Environment

KASUS SRITEX – Kejagung menjerat mantan Dirut Sritex Iwan Setiawan Lukminto atas dugaan kongkalikong pemberian kredit. Foto: net/detik.com


JAKARTA, KABARLINK.com - Polemik yang melanda PT Sri Rejeki Isman (Sritex) Tbk, perusahaan tekstil raksasa yang berdiri sejak 1966, terus bergulir. Kejaksaan Agung (Kejagung) kini menjerat mantan Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, atas dugaan kongkalikong terkait pemberian kredit yang merugikan negara.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, pada 21 Mei 2025, mengungkapkan adanya anomali dalam laporan keuangan Sritex. Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan, ujarnya.

Kejanggalan ini mengarah pada dugaan penyalahgunaan dana pinjaman. Menurut Qohar, dana yang seharusnya digunakan untuk modal kerja justru dialihkan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, seperti tanah di Yogyakarta dan Solo. Terdapat fakta hukum bahwa dana tersebut tidak dipergunakan sebagaimana tujuan dari pemberian kredit yaitu untuk modal kerja, tetapi disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya, tegasnya.

Selain Iwan Setiawan Lukminto, Kejagung juga menetapkan dua tersangka lain, yaitu Direktur Utama Bank DKI Tahun 2020, Zainuddin Mappa (ZM), dan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata (DS). Keduanya diduga memberikan kredit secara melawan hukum karena tidak melakukan analisa yang memadai dan tidak mematuhi prosedur yang telah ditetapkan.

Qohar menjelaskan, Dalam pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman TBK, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI dan DS selaku Pimpinan Divisi Korporasi dan Komisaris Komersial PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten telah memberikan kredit secara melawan hukum karena tidak melakukan analisa yang memadai dan mentaati prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satu pelanggaran yang ditemukan adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja karena Sritex hanya memperoleh predikat BB min, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang lebih tinggi.

Akibat kredit macet ini, negara mengalami kerugian. Sritex, sebagai perusahaan terbuka dengan komposisi kepemilikan saham PT Huddleston Indonesia sebesar 59,03% dan masyarakat sebesar 40,97%, tidak mampu membayar pinjaman. Aset perusahaan pun tidak dapat dieksekusi karena tidak dijadikan jaminan.

Dalam laporan keuangan tahun 2021, Sritex melaporkan kerugian mencapai USD 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,65 triliun. Padahal, setahun sebelumnya, perusahaan masih mencatatkan keuntungan sebesar USD 85,32 juta atau setara dengan Rp 1,24 triliun.

Penyidik Kejagung telah melakukan penggeledahan di rumah para tersangka dan menyita sejumlah barang bukti elektronik dan dokumen. Kami telah menyita kurang lebih 15 barang bukti elektronik, laptop dan iPad, dan dokumen-dokumen, ungkap Qohar.

Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan perusahaan besar dan dugaan korupsi yang merugikan negara. Proses hukum akan terus berlanjut untuk mengungkap seluruh fakta dan pihak yang terlibat dalam skandal kredit macet Sritex. (Kabarlink/Ain)

Type above and press Enter to search.