Rendang: Tumbal Konten Viral Willie Salim

KONTEN kreator tidak boleh meremehkan makanan khas suatu daerah. Kuliner bukan sekadar pengisi perut di kala lapar. Pemikiran semacam itu terlalu dangkal—sedangkal sudut pandang para influencer yang menjadikan kuliner sekadar objek viral. Mereka hanya menonjolkan konsep nyeleneh, porsi jumbo, dan sentuhan hiburan demi mendulang like, share, serta komentar.Ujungnya, semua itu hanyalah strategi untuk meraup cuan besar melalui monetisasi.
Era digital seharusnya menjadi medium pelestarian budaya,bukan pelecehan. Setiap kali kamera diangkat untuk membuat konten kuliner, ada pertanyaan mendasar yang harus diajukan: apakah ini bentuk penghormatan atau eksploitasi? Apakah ada pemahaman terhadap makna budaya di balik sepiring rendang, atau hanya sekadar mencari keuntungan dari tren sesaat?
Kuliner Nusantara adalah cermin peradaban. Cara memperlakukannya mencerminkan kadar penghormatan terhadap identitas bangsa.Jika hari ini diam saja ketika rendang dijadikan bahan gimik, besok mungkin giliran soto, rawon, atau papeda yang diperlakukan serupa.
Sudah saatnya komunitas kreatif menetapkan etika dalam mengangkat kuliner tradisional. Platform digital pun harus berperan dalam membangun panduan konten yang lebih sensitif terhadap budaya. Melestarikan kuliner Nusantara bukan hanya soal menjaga rasa, tetapi juga memuliakan martabat bangsa.
Indonesia adalah negeri multikultural dengan pusaka kuliner yang beragam. Setiap suku memiliki makanan khas yang bukan sekadar hidangan,melainkan bagian dari identitas dan harga diri.
Pada era Presiden Soekarno, kuliner bahkan ditempatkan sebagai kekuatan politik kebudayaan. Sejak 1927, Bung Karno memperkenalkan konsep self-reliance—percaya pada kekuatan sendiri, termasuk dalam hal pangan.
Pada 1960, ia memerintahkan penyusunan Mustikarasa,sebuah buku yang menghimpun resep makanan khas dari Sabang sampai Merauke sebagai simbol kekayaan pangan Nusantara.
Bagi Bung Karno, kuliner bukan hanya soal cita rasa,melainkan representasi dari kekuatan bangsa. Memperlakukan masakan khas Nusantara dengan sembarangan, apalagi hanya demi konten viral, sama saja dengan melecehkan budaya bangsa.
Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik adalah konten rendang jumbo yang dibuat oleh influencer Willie Salim. Video yang direkam di Pelataran Benteng Kuto Besak, Palembang, pada 18 Maret 2025, memicu kecaman luas.
Apa yang salah? Rendang bukan sekadar masakan. Rendang adalah pusaka budaya masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, yang juga populer di Palembang dan wilayah Melayu lainnya. Ia adalah warisan yang penuh nilai historis dan filosofis. Pada 2011, CNN Travel bahkan menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia dalam daftar World’s 50 Best Foods.
Dalam buku Mustikarasa, memasak rendang dijelaskan dengan rinci—menggunakan bumbu yang kaya, teknik memasak yang cermat, dan proses yang membutuhkan kesabaran tinggi.
Rendang dimasak dengan api kecil dalam waktu lama hingga menghasilkan cita rasa khas. Jika memasak rendang hanya sekadar untuk konten,apalagi dalam porsi jumbo tanpa memperhatikan proses dan esensi pembuatannya,maka yang terjadi bukan sekadar kehilangan rasa, tetapi juga pelecehan terhadap kuliner yang sudah diakui dunia.
Boleh saja kuliner dijadikan bagian dari hiburan, tetapi harus dikelola dengan benar dan penuh rasa hormat. Kuliner tradisional tidak boleh hanya menjadi alat eksploitasi demi keuntungan pribadi. Tidak mengherankan jika masyarakat Palembang marah. Dalam video, narasi yang dibangun seolah mempermalukan masyarakat setempat. Bukannya menghormati pusaka kuliner, konten ini justru melecehkan budaya dan masyarakatnya.
Tragedi rendang yang menjadi ‘tumbal’ konten viral ini harus menjadi pengingat bagi influencer lain. Jangan menganggap remeh pusaka kuliner Nusantara dan menjadikannya sekadar objek sensasi.
Pusaka kuliner harus ditempatkan pada posisi terhormat.Butuh kehati-hatian dan perencanaan matang agar tujuan baik tidak bergeser menjadi pelecehan budaya. Di era digital ini, setiap kreator konten memiliki tanggung jawab moral. Jangan hanya mengejar cuan, tetapi juga pahami nilai dan makna di balik budaya yang diangkat. Jika ingin menghibur, lakukan dengan carayang berkelas, profesional, dan penuh rasa hormat. (*)