Iwan Lukminto: Kredit Macet Berujung Jerat Hukum?
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/1643336/original/018112400_1499577645-Foto_Liputan6.jpg)
KUNJUNGAN INDUSTRI – Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menerima penjelasan dari Dirut PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, didampingi Dirjen IKTA Achmad Sigit Dwiwahjono. Foto: Kemenperin
JAKARTA, KABARLINK.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Iwan Setiawan Lukminto (ISL), yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) periode 2014-2023 dan kini Komisaris Utama, sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait penerimaan kredit dari Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) serta Bank DKI Jakarta.
Penetapan tersangka ini diumumkan dalam konferensi pers yang digelar di Kejagung pada hari Rabu, 21 Mei 2025. Direktur Penyidikan Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dana kredit yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja justru diselewengkan untuk membayar hutang dan membeli aset non-produktif.
Selain Iwan Setiawan Lukminto, Kejagung juga menetapkan dua tersangka lain, yaitu Zainudin Mappa, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI, dan Dicky Syahbandinata, Pemimpin Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB. Keduanya diduga memberikan kredit tanpa analisa yang memadai dan tidak mematuhi prosedur yang berlaku.
Kasus ini bermula dari informasi yang diterima Kejagung mengenai dugaan tindak pidana korupsi di PT Sritex. Penyelidikan mengungkapkan bahwa perusahaan tekstil yang sempat meraup keuntungan Rp1,24 triliun pada tahun 2020, justru mengalami kerugian hingga 1,08 miliar USD (sekitar Rp15,65 triliun) pada tahun berikutnya.
Ironisnya, PT Sritex, yang berdiri sejak 1966, sempat mendapatkan kucuran kredit dari berbagai bank, termasuk bank daerah dan bank milik pemerintah seperti BNI, BRI, dan LPEI, dengan total mencapai Rp2,5 triliun. Namun, perusahaan tersebut akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang.
Kepailitan Sritex berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 10.665 karyawan. Penghentian operasional perusahaan secara resmi dimulai sejak 26 Februari 2025, dengan hari kerja terakhir pada 28 Februari 2025.
Menurut Qohar, pemberian kredit kepada Sritex seharusnya tidak dilakukan tanpa jaminan, mengingat perusahaan tersebut hanya memiliki peringkat BB min, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang tinggi. Akibatnya, Sritex dan anak perusahaannya terlilit utang hingga Rp3,5 triliun yang belum dibayarkan hingga Oktober 2024, dengan rincian utang kepada Bank Jateng, Bank BJB, Bank DKI, dan 20 bank swasta lainnya.
Meskipun Sritex merupakan perusahaan swasta, Kejagung tetap mengusut kasus ini karena adanya dugaan kerugian negara akibat keterlibatan bank daerah. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Kabarlink/Ain)