Hakim Djuyamto: Tas Misterius Sebelum Jeruji Besi
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4868351/original/052703900_1718806011-20240619_150419.jpg)
JAKARTA, KABARLINK.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami kasus suap terkait vonis lepas perkara minyak goreng yang melibatkan oknum hakim. Terungkap bahwa Djuyamto (DJU), seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sempat menitipkan tas mencurigakan kepada petugas keamanan (Satpam) PN Jaksel sebelum penahanannya.
Kasus ini bermula dari dugaan tawar menawar uang di PN Jakarta Pusat dengan tujuan memuluskan vonis lepas bagi terdakwa korporasi dalam kasus mafia minyak goreng. Dirdik Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa pihaknya telah memeriksa Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin (hakim PN Jakpus), dan Ali Muhtarom (hakim ad hoc PN Jakpus).
Wahyu Gunawan, seorang panitera, diduga menyampaikan permintaan kepada Muhammad Arif Nuryanta (Ketua PN Jaksel saat menjabat Wakil Ketua PN Jakpus) agar perkara tersebut diputus onslag van rechtvervolging atau divonis lepas. Permintaan ini kemudian diteruskan kepada Aryanto Bakri, seorang pengacara, untuk menyiapkan dana sebesar Rp60 miliar.
Menurut keterangan Kejagung, Agam Syarif Baharuddin menerima Rp4,5 miliar dan memasukkannya ke dalam goody bag. Penyerahan uang dilakukan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat. Pembagiannya adalah Agam Syarif Baharuddin menerima Rp4,5 miliar, Djuyamto menerima Rp6 miliar, dan Ali Muhtarom menerima Rp5 miliar.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, membenarkan bahwa tas titipan Djuyamto kepada Satpam PN Jaksel berisi uang dolar Singapura dan dua telepon genggam. Penyerahan tas tersebut terjadi pada Rabu, 16 April 2025, setelah penangkapan Djuyamto.
Kasus ini bermula dari kesepakatan antara Aryanto Bakri dan Wahyu Gunawan untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan imbalan Rp20 miliar. Muhammad Arif Nuryanta kemudian menyetujui permintaan vonis onslag, namun dengan meminta Rp60 miliar. Wahyu Gunawan menerima US$50 ribu sebagai jasa penghubung.
Muhammad Arif Nuryanta kemudian memanggil Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin untuk bertemu dan mengarahkan mereka untuk mengatensi perkara tersebut. Setelah menerima uang, Muhammad Arif Nuryanta menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara korupsi CPO.
Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang senilai Rp4,5 miliar kepada hakim sebagai uang untuk baca bekas perkara. Pada September atau Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta kembali menyerahkan uang senilai Rp18 miliar kepada Djuyamto, yang kemudian dibagi tiga.
Djuyamto juga memangkas Rp300 juta dari bagiannya untuk diberikan kepada Wahyu Gunawan sebagai perantara. Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan penerimaan uang, yaitu agar perkara diputus onslag. Hal ini terbukti pada 19 Maret 2025, ketika perkara korporasi minyak goreng diputus onslag oleh majelis hakim.
Berikut rincian pembagian uang suap:
Nama Hakim | Jumlah Suap (Estimasi) |
---|---|
Agam Syarif Baharuddin | Rp4,5 Miliar |
Djuyamto | Rp6 Miliar |
Ali Muhtarom | Rp5 Miliar |
Kasus ini mencoreng citra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan menjadi tamparan keras bagi integritas lembaga peradilan.